Kopi Sebagai Terapi

Mengarungi hidup, bertumbuh bersama

Sigit Adinugroho
14 min readJan 16, 2025

Saya masih ingat dengan jelas kapan kopi pertama kali menjadi bagian dari hidup saya. Bukan lewat secangkir kopi sachet atau kopi instan yang gampang ditemukan di warung, melainkan melalui Starbucks (maaf, bagi teman-teman yang memboikotnya, tapi ini kejadian tahun 2000-an, ya, jangan marah dulu).

Ya, saya tidak pernah cocok dengan kopi sachet. Bukan karena saya sok atau ingin terlihat keren — saya hanya memang tidak suka rasanya. Starbucks, di sisi lain, menawarkan pengalaman berbeda. Memang kopinya tidak seenak itu, tapi suasananya pas buat saya pada saat itu. Latte pertama saya, waktu itu seharga 23 ribu rupiah, terasa seperti kemewahan. Itu adalah harga yang mahal untuk kantong mahasiswa, tapi setiap proyek atau hadiah lomba sering kali saya belanjakan di sana. Naif, kan?

Saat mulai kerja tahun 2007, Starbucks lebih dari sekadar tempat untuk minum kopi. Itu adalah “ruang ketiga” saya, sebuah tempat untuk melarikan diri dari rutinitas, mengerjakan tugas, atau sekadar bersantai. Ketika mulai bekerja di Jakarta, saya sering nongkrong di Starbucks Plaza Senayan. Dari 2007 hingga 2012, kafe independen memang belum marak di Jakarta. Starbucks adalah tempat nyaman dengan Wi-Fi, AC dingin, dan aroma kopi yang mengundang.

Saya memesan latte atau minuman milk-based lainnya. Cenderung manis, seperti tren kopi susu kekinian yang digandrungi banyak orang. Kopi bagi saya saat itu bukan soal rasa biji kopi, tapi lebih pada atmosfer. Ada rasa nyaman yang tidak bisa saya dapatkan di tempat lain: lampu yang hangat, musik yang lembut, dan obrolan pelan dari meja-meja di sekitar. Bahkan, beberapa momen penting bersama pacar saya (yang kini menjadi istri saya) terjadi di situ. Kami sering duduk berjam-jam, berbicara tentang mimpi-mimpi masa depan (atau ketika lagi berantem, hehe). Baristanya sampai hapal pesanan saya. Ada pun Starbucks di lantai satu department store Plaza Senayan dan juga di atas dekat Kinokuniya (pada saat itu) sering saya sambangi.

Kopi saat itu, buat saya, adalah terapi sederhana. Bukan pada rasa kopinya, tapi pada tempat dan suasana yang dihadirkannya.

Mengenal kopi

Perjalanan saya dengan kopi berubah ketika saya mulai traveling dan akhirnya pindah ke Singapura (yang pertama kali, tahun 2014–2015). Di Singapura, saya terpesona dengan rasa dark roast kopi ala kopitiam. Rasanya begitu kuat, bahkan cenderung pahit, tapi ada kedalaman yang membuat saya terus kembali mencicipinya. Salah satu favorit saya adalah “kopi c siudai” — kopi dengan sedikit susu kental manis. Hingga hari ini, itu masih menjadi pilihan saya saat ingin bernostalgia.

Vietnam juga memperkaya perjalanan kopi saya. Saya mencicipi kopi Vietnam yang unik: kopi dengan susu kental manis yang diseduh perlahan dengan alat bernama phin. Variasi lainnya yang mencuri hati adalah kopi telur (cà phê trứng), campuran kopi kental dengan krim kuning telur yang lembut. Setiap kali menyeruputnya, saya seperti ditarik ke jalanan Hanoi yang ramai, dengan bunyi klakson dan aroma makanan khas yang melayang di udara.

Kopi mulai berubah dari sekadar minuman menjadi pengalaman. Baunya, teksturnya, bahkan ritual kecil dalam menyeduhnya mulai saya nikmati.

Saat bekerja di sebuah bank Singapura, kopi menjadi bagian dari ritual keseharian. Bos dan teman-teman saya punya kebiasaan minum kopi pagi, siang, dan sore. Saya tertular kebiasaan ini. Kalau tidak sempat mampir, mereka bakal dabao (bungkus) dan aroma kopi menyeruak di ruang rapat.

Kopi favorit saya di Singapura

Saat pindah ke perusahaan lain, dalam kesempatan pindah yang berbeda (2016), adalah satu teman saya, seorang desainer di tim yang sama, seorang penggemar kopi juga, bahkan lebih fanatik. Dia tidak suka kopi susu, hanya kopi hitam. Dari dialah saya mulai belajar mengapresiasi kopi dalam bentuk yang paling murni.

Selama sering makan dan perjalanan dinas bersamanya, saya jadi penasaran dengan filter coffee atau manual brew. Saat di Austin, Texas, Amerika Serikat, misalnya, kami sering sarapan di diner atau warung taco. Teman saya selalu memesan kopi filter — kopi hitam sederhana yang disajikan dalam cangkir besar. Di specialty coffee shop, pilihannya adalah manual brew, filter coffee of the day, atau Americano.

Rasa penasaran itu akhirnya membuat saya mencoba sendiri. Dia bahkan meminjamkan saya Aeropress dan penggiling manual. “Pakai saja, saya punya banyak di rumah,” katanya. Tapi tentu saja, percobaan pertama saya gagal total. Saya tidak punya passion atau kesabaran saat itu. Ada pula saat di mana saya menumpahkan kopi sampai ke lantai dan bertekad, “Ah, sudahlah, beli saja!”.

Namun, dari sana, perlahan saya mulai belajar menikmati kopi hitam. Saya mulai menghargai kompleksitas rasa yang dihasilkan dari biji kopi tanpa tambahan susu atau gula. Ada kehangatan, keasaman, dan bahkan manis alami yang muncul. Setiap tegukan terasa seperti sebuah cerita — biji kopi yang ditanam di tanah tinggi, dipetik dengan hati-hati, dan diproses untuk menghadirkan keunikan rasa tertentu.

Minum kopi hitam adalah pengalaman yang melibatkan semua indera. Aromanya yang khas, rasanya yang kaya, bahkan kehangatan cangkir di tangan Anda. Tidak ada gangguan rasa tambahan, hanya kopi dalam bentuk paling jujur.

“Specialty coffee”? “Third-wave”? Makhluk apa itu?

Specialty coffee adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kopi dengan kualitas tertinggi, yang dinilai berdasarkan berbagai atribut seperti aroma, rasa, keasaman, tubuh, dan keseimbangan. Menurut Specialty Coffee Association (SCA), kopi dianggap sebagai specialty jika memperoleh skor 80 poin atau lebih pada skala 100 poin.

Penilaian ini dilakukan oleh para profesional terlatih yang dikenal sebagai Q-graders, yang mengevaluasi biji kopi hijau untuk memastikan hanya biji dengan sedikit atau tanpa cacat yang memenuhi syarat sebagai specialty coffee.

Selain penilaian sensorik, specialty coffee juga menekankan transparansi asal-usul biji kopi, metode budidaya yang berkelanjutan, dan praktik perdagangan yang adil. Biji kopi specialty sering kali berasal dari satu wilayah atau bahkan satu perkebunan (single-origin), yang memberikan karakteristik rasa unik sesuai dengan lingkungan tumbuhnya.

Dengan demikian, specialty coffee tidak hanya menawarkan kualitas rasa yang superior tetapi juga mendukung praktik pertanian dan perdagangan yang etis, memastikan pengalaman kopi yang istimewa bagi para penikmatnya.

Specialty coffee punya kaitan erat dengan third-wave coffee, sebuah gerakan yang mengubah cara kita memandang kopi. Kalau specialty coffee fokus pada kualitas biji kopi dengan skor di atas 80 menurut standar Specialty Coffee Association, third-wave coffee adalah filosofi yang lebih besar, yang merayakan kopi sebagai seni, bukan sekadar minuman biasa. Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap gelombang sebelumnya — kopi instan dari first wave dan kafe jaringan seperti Starbucks di second wave — dengan menekankan kualitas, transparansi asal-usul, dan metode penyeduhan. Dalam third-wave coffee, kopi dihargai karena cerita di baliknya: dari wilayah biji kopi ditanam, proses pasca-panen, hingga bagaimana biji tersebut diseduh menjadi secangkir kopi. Di sini, specialty coffee menjadi fondasi, karena tanpa biji berkualitas tinggi, pengalaman third-wave yang penuh eksplorasi rasa tidak mungkin terjadi. Hal yang menarik, third-wave coffee juga membawa penghormatan besar pada petani kopi, mengedepankan keberlanjutan dan hubungan langsung antara produsen dan konsumen. Dalam konteks ini, kafe-kafe third-wave biasanya menyajikan biji kopi single-origin, sering kali tanpa tambahan susu atau gula, dan menggunakan metode manual seperti pour-over untuk menonjolkan karakter rasa asli. Jadi, bisa dibilang, third-wave coffee adalah budaya yang menjadikan specialty coffee sebagai landasannya — sebuah perayaan rasa, cerita, dan ritual yang menghubungkan kita dengan kopi secara lebih personal dan mendalam.

Sebelum pindah ke Singapura, sebenarnya saya sudah mulai menjajaki dunia specialty coffee. Kala itu, kafe-kafe di Jakarta (yang kemungkinan sudah third wave?) seperti Blumchen Coffee, Anomali, Monolog, Giyanti, dan 1/15 Coffee mulai bermunculan. Terutama Anomali, sih, buat saya dan istri. Pilihannya masih terbatas, bisa dihitung dengan jari, tapi cukup membuka mata saya akan sesuatu yang berbeda. Anak-anak Gen-Z mungkin referensinya sekarang jauh lebih banyak, dengan catatan: bagi yang tidak keranjingan es kopi susu manis!

Ketika saya pertama kali mencoba kopi dari kafe-kafe ini, saya masih fokus pada minuman milk-based seperti latte atau cappuccino. Kopi tanpa susu masih terlalu “berani” bagi lidah saya saat itu. Namun, pengalaman menikmati kopi di tempat-tempat ini terasa lebih “serius.” Para barista berdiri di balik mesin espresso dengan penuh perhatian, biji kopi diperlakukan seperti sesuatu yang sakral. Saya menyadari bahwa di sini, kopi bukan sekadar minuman, melainkan sebuah seni.

Waktu itu, makna specialty coffee belum saya pahami sepenuhnya. Apa yang membuatnya istimewa? Apa bedanya dengan kopi yang biasa saya pesan di Starbucks atau kopitiam? Saya hanya tahu bahwa kafe-kafe ini menyajikan kopi dengan cara yang berbeda, dengan fokus pada asal biji kopi, metode penyeduhan, dan rasa yang lebih kompleks.

Meski begitu, saya tetap setia dengan milk-based coffee. Latte masih menjadi pesanan andalan saya, tetapi mulai ada perubahan kecil. Saya mencoba tanpa gula. Rasanya tidak langsung cocok, tapi lambat laun saya mulai terbiasa. Saya merasa ada kepuasan tersendiri ketika bisa merasakan rasa asli dari kopi, meski masih ada lapisan susu yang menyeimbangkannya.

Budaya minum kopi di beda negara

Satu hal yang cukup menggelitik saya saat itu (konteks waktu: sebelum 2015) adalah perbedaan budaya kopi di Indonesia dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Di Indonesia, pilihan kopi cenderung terbatas pada kopi saset atau malah kopi “modern” seperti yang ditawarkan di chain coffee shop seperti Starbucks. Kopi tradisional khas Indonesia, seperti kopi tubruk, memang ada, tapi kurang dihargai di kota besar seperti Jakarta, apalagi oleh anak muda atau pekerja kerah putih. Kopi juga dianggap sebagai minuman “santai”, bukan minuman produktif para pekerja.

Di sisi lain, Singapura dan Malaysia memiliki tradisi minum kopi yang jauh lebih mengakar dibandingkan Indonesia. Budaya kopitiam dengan dark roast-nya yang khas selalu menarik perhatian saya. Kopi kopitiam adalah kopi yang dibuat dari biji robusta atau campuran robusta-arabika yang disangrai gelap, sering kali menggunakan gula atau margarin saat proses sangrai untuk memberikan aroma yang khas. Tradisi ini membuat kopi terasa lebih dekat dengan keseharian, tanpa embel-embel mahal atau gaya hidup tertentu. Anda tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk menikmati secangkir kopi yang kuat, sering kali disajikan dengan susu kental manis, seperti favorit saya, kopi c siudai.

Namun, meskipun kopitiam begitu lekat dalam keseharian masyarakat Singapura dan Malaysia, saya menyadari bahwa tradisi ini lebih cocok disebut sebagai bagian dari first wave coffee. Fokusnya adalah pada aksesibilitas dan efisiensi, bukan pada kualitas biji atau pengalaman menyeluruh seperti dalam second wave atau bahkan third wave. Kopi kopitiam adalah tentang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan harga terjangkau, mirip dengan kopi instan di Indonesia, tetapi dalam bentuk yang lebih otentik dan tradisional.

Berbeda dengan second wave yang diperkenalkan oleh merek-merek global seperti Starbucks — yang mempopulerkan kopi sebagai gaya hidup — kopi kopitiam tetap mempertahankan akar lokalnya. Ia tidak mencoba menjadi sesuatu yang mewah atau modern, tetapi justru menjadi bagian dari budaya makan pagi bersama kaya toast dan telur setengah matang. Di Vietnam, tradisi kopi bahkan lebih merakyat, dengan kopi hitam atau kopi susu yang bisa dinikmati di sudut jalan dengan harga yang sangat murah, tidak sampai 10 ribu rupiah. Budaya-budaya ini menunjukkan betapa kopi telah menjadi kebutuhan esensial bagi banyak orang, meskipun belum sampai pada tingkat apresiasi seperti dalam third wave coffee.

Hal ini membuat saya semakin kagum pada tradisi kopi di negara-negara ini. Meski berakar pada first wave, budaya minum kopi mereka terasa begitu hidup dan mengakar. Bahkan di tengah kemajuan specialty coffee dan third wave, kopi kopitiam tetap menjadi simbol kehangatan dan kesederhanaan yang sulit tergantikan. Di sini saya mulai memahami bahwa setiap cangkir kopi, baik yang mewah maupun sederhana, membawa cerita dan tempatnya masing-masing dalam sejarah panjang kopi dunia.

Tentu, di sini kita tidak ingin menghakimi atau membandingkan secara berlebihan antara first wave, second wave, dan third wave. Masing-masing memiliki kelebihan dan fungsinya sendiri, sesuai dengan kebutuhan dan konteksnya.

Pindah ke Singapura

Dari tahun 2015 hingga 2020, perjalanan saya dengan kopi terus berlanjut. Selera saya mulai berubah, meskipun perlahan. Saya masih setia dengan milk-based coffee, tetapi mulai belajar menikmati kopi hitam. Saya mencoba manual brew seperti pour-over, French press atau Aeropress, meski kadang rasanya terlalu asam atau pahit untuk lidah saya.

Saya mulai memahami bahwa setiap biji kopi punya cerita. Ada biji kopi yang ditanam di dataran tinggi Ethiopia, dengan rasa floral dan fruity yang unik. Ada juga biji kopi dari Sumatera, dengan rasa earthy dan body yang tebal. Setiap tegukan seperti menghubungkan saya dengan tempat asal biji kopi itu, seolah-olah saya bisa merasakan tanah, udara, dan tangan petani yang memetiknya.

Pada periode 2015 hingga 2020, hubungan saya dengan kopi semakin mendalam. Specialty coffee bukan lagi sekadar kebiasaan atau eksperimen semata, melainkan bagian dari gaya hidup yang saya nikmati dengan sepenuh hati. Setiap akhir pekan, saya dan istri memiliki tradisi kecil: menjelajahi kafe-kafe di Singapura. Itu adalah momen yang kami nanti-nantikan — sebuah pelarian dari kesibukan kerja dan rutinitas sehari-hari.

Salah satu tempat favorit kami adalah Commune Cafe di Millennia Walk. Kafe ini memiliki suasana yang tenang, dengan interior minimalis yang terasa modern sekaligus nyaman. Pesanan saya biasanya sederhana, sebuah flat white atau latte. Saya menyukai konsistensi rasa mereka.

Namun, seiring waktu, lidah saya mulai mencari sesuatu yang lebih menantang. Saya pun mulai menjelajahi tempat-tempat lain yang lebih fokus pada kualitas dan keunikan kopi mereka. Salah satu destinasi berikutnya adalah Tiong Hoe Specialty Coffee, sebuah tempat kecil namun penuh karakter di Queenstown. Tempat ini dikelola dengan penuh dedikasi, dan saya ingat betapa terkesannya saya dengan aroma biji kopi yang digiling segar begitu saya masuk. Mereka memiliki berbagai macam single origin, dan saya mulai belajar mengenali karakteristik biji kopi dari berbagai wilayah — Ethiopia yang fruity, Sumatra yang earthy, hingga Kenya yang memiliki keasaman kompleks.

Kemudian ada Nylon Coffee Roasters di Everton Park, sebuah tempat mungil yang hampir selalu penuh dengan pengunjung. Meskipun kecil, mereka adalah salah satu pionir specialty coffee di Singapura, dengan reputasi yang sudah mendunia. Saya belajar banyak tentang teknik manual brew di sini, dan aroma kopi mereka yang khas selalu membawa kenangan tersendiri.

Dekat kantor saya saat itu, saya juga menjadi pelanggan tetap di Dutch Colony Coffee Co. Tempat ini menyajikan kopi dengan kualitas tinggi, dan lokasinya yang strategis membuatnya menjadi pilihan utama saya untuk menikmati kopi sebelum atau sesudah kerja. Saya masih mengingat barista yang ramah dan suasana yang santai di sana.

Di sisi timur Singapura, tempat tinggal saya sejak awal pindah kembali pada tahun 2016, saya memiliki beberapa tempat favorit lainnya. Salah satunya adalah Craftsmen Coffee, yang dulu memiliki cabang tak jauh dari rumah saya. Sayangnya, cabang tersebut kini sudah tutup, meskipun mereka masih beroperasi di lokasi lain. Craftsmen adalah tempat di mana saya sering menghabiskan waktu bersama istri dan Janis, atau bahkan untuk conference call dengan teman sejawat.

Ada juga Jamaica Blue (dulu di Suntec City), yang sempat menjadi salah satu kafe kesayangan kami. Sayang sekali, kafe ini sekarang telah tutup permanen. Saya dan istri masih mengingat Pak Herman, seorang pria asal Indonesia yang menjadi warga negara Australia. Ia bertugas membuka cabang Jamaica Blue di Singapura dan Malaysia. Pak Herman adalah sosok yang sangat ramah dan selalu menyapa kami dengan hangat setiap kali kami datang. Rasanya ada sentuhan personal yang membuat kunjungan kami ke Jamaica Blue selalu berkesan.

Kecintaan saya terhadap kopi juga membuat saya menjadi lebih peka terhadap kafe-kafe baru yang bermunculan di sisi timur Singapura. Saya senang menjelajahi tempat-tempat baru, mencoba menu unik mereka, dan menikmati suasana yang berbeda di setiap tempat. Bagi saya, sisi timur Singapura adalah kawasan yang paling hidup, dengan banyak pilihan kafe berkualitas yang memenuhi kebutuhan pencinta kopi seperti saya.

Covid-19, PHK, stres kerja

Ketika COVID-19 melanda pada tahun 2020, semuanya berubah. Singapura, seperti banyak negara lain, menjalani karantina dan lockdown. Tidak ada lagi jalan-jalan, tidak ada lagi kafe-kafe yang bisa saya kunjungi untuk sekadar melepas penat. Kehidupan terasa stagnan, monoton, dan penuh ketidakpastian. Dalam kondisi ini, saya memutuskan untuk mengambil langkah yang akan mengubah hubungan saya dengan kopi: membeli mesin espresso.

Awalnya, saya ragu. Mesin espresso bukan investasi kecil. Selain harganya yang mahal, saya juga khawatir soal perawatannya. Bagaimana kalau saya tidak bisa merawatnya dengan benar? Bagaimana kalau saya gagal membuat secangkir kopi yang enak? Tapi rasa penasaran dan kebutuhan untuk menemukan pelarian dari stres sehari-hari mendorong saya untuk mengambil keputusan ini.

Mesin kopi espresso dan penggiling kopi pertama saya dari Lelit, dibeli tahun 2020

Setelah membeli mesin, saya sadar bahwa perjalanan baru saja dimulai. Mesin espresso saja tidak cukup. Saya juga harus berinvestasi pada grinder, karena katanya, grinder adalah elemen paling penting dalam menghasilkan kopi berkualitas. Biji kopi pun menjadi perhatian utama. Saya mulai membeli biji kopi berkualitas setiap bulan, dan pengeluaran saya untuk kopi naik drastis.

Penggiling kopi terbaru, Barazza Sette 270Wi, dibeli tahun 2024

Banyak orang bilang bahwa saya seharusnya mulai dengan manual brew — lebih sederhana dan lebih murah. Tapi waktu itu, saya masih belum familiar dengan teknik tersebut. Saya lebih tertarik pada espresso-based drinks, terutama milk-based seperti flat white atau latte, sebagai pengganti pengalaman “ngopi di kafe” yang hilang.

Saya mulai belajar perlahan-lahan. Memilih biji kopi yang tepat, mencoba berbagai jenis susu, dan mempraktikkan teknik menyeduh espresso serta frothing susu. Awalnya, saya sering gagal. Tekstur susu tidak sesuai, rasanya kurang seimbang, atau espresso yang saya buat terlalu pahit. Tapi saya terus mencoba. Sehari bisa 4–5 kali saya membuat kopi, awalnya hanya untuk diri saya sendiri.

Menjajal “manual brew” akhir 2024

Kopi sebagai terapi abadi

Tanpa saya duga, mesin kopi ini menjadi lebih dari sekadar alat. Ia menjadi teman setia saya di masa-masa penuh tekanan. Saat itu, saya sempat mengalami masa sulit: saya terkena PHK di awal pandemi. Ketika akhirnya saya mendapatkan pekerjaan baru, gaji pertama saya saya gunakan untuk membeli mesin espresso ini.

Pekerjaan baru saya waktu itu cukup menantang. Bos saya sangat keras, tuntutan pekerjaan tinggi, dan saya sering merasa stres. Dalam situasi tersebut, membuat kopi menjadi pelarian saya. Setiap kali saya merasa terbebani, saya akan mengambil waktu istirahat untuk membuat secangkir kopi. Prosesnya — menggiling biji, menyeduh espresso, mengolah susu — terasa menenangkan. Suara mesin kopi, aroma biji kopi yang baru digiling, dan rasa hangat di tangan saya memberikan semacam kedamaian.

Tiga hingga lima kali sehari, saya beranjak ke dapur untuk membuat kopi. Di momen itu, dunia terasa berhenti sejenak. Saya tidak memikirkan pekerjaan, tekanan, atau masalah lainnya. Hanya ada saya, mesin kopi, dan secangkir kecil kebahagiaan.

Bahkan belanja kopi pun jadi ritual tersendiri

Seiring waktu, ketika situasi mulai membaik dan saya pindah ke perusahaan yang lebih baik, kebiasaan membuat kopi tetap bertahan. Bahkan, saya mulai memperluas wawasan saya tentang kopi. Tahun 2024, saya memutuskan untuk mencoba manual brew.

Ternyata, manual brew membuka dimensi baru dalam pengalaman ngopi saya. Prosesnya lebih lambat, lebih teknis, tapi juga lebih meditatif. Mulai dari menuangkan air panas perlahan ke atas kopi hingga memperhatikan rasio air dan kopi, setiap langkah terasa seperti ritual. Saya menemukan bahwa rasa kopi dari manual brew bisa jauh lebih kompleks dan nikmat. Ada lapisan keasaman, manis, dan aftertaste yang tidak bisa saya temukan di espresso.

Lebih dari itu, manual brew terasa lebih terapeutik. Tidak ada suara mesin yang mengganggu, hanya keheningan dan bunyi air yang mengalir. Saya merasa lebih terhubung dengan kopi, dengan prosesnya, dan bahkan dengan diri saya sendiri.

Sampai hari ini, kopi masih menjadi bagian penting dalam hidup saya. Ia bukan hanya sumber energi di pagi hari, tapi juga sarana untuk menghadapi tekanan hidup. Baik saat bekerja, merenung, atau sekadar menikmati waktu luang, kopi selalu hadir sebagai teman setia.

Istri pun sudah mulai rutin membuat kopi sendiri, dan rumah bisa beraroma kopi hampir 24 jam lamanya.

Dari secangkir latte di Starbucks hingga biji kopi single origin dari Ethiopia yang diseduh perlahan di dapur rumah, perjalanan saya dengan kopi adalah cerminan dari perjalanan hidup saya sendiri: penuh tantangan, pelajaran, dan kenikmatan sederhana yang membuat segalanya terasa lebih baik… dan mudah-mudahan, lebih dewasa.

Sesi mengawang-ngawang, bersama kopi buatan sendiri, di rumah

Terima kasih, kopi.

--

--

Sigit Adinugroho
Sigit Adinugroho

Written by Sigit Adinugroho

Bicara soal UX dan kehidupan di antaranya.

Responses (1)