Renungan Karir Menjelang Kepala Empat

Karir bukanlah sebuah garis lurus, bahkan setelah dua dekade

Sigit Adinugroho
8 min readJan 12, 2025
Hidup dan karir adalah proses

Sudah 18 tahun berlalu sejak saya pertama kali melangkah ke dunia desain UX, pekerjaan yang saat itu bahkan belum memiliki istilah formal seperti sekarang. Perjalanan ini penuh dengan tikungan, pelajaran, dan perubahan perspektif yang terus berkembang.

Dulu saya pikir pekerjaan adalah tentang menghasilkan karya yang bagus dan mendapatkan bayaran setimpal. Tapi, pengalaman menunjukkan bahwa pekerjaan bukan hanya soal uang; manajer dan teman kerja yang kita miliki memainkan peran besar dalam kesejahteraan kita. Lalu, tidak semua selancar dan senaif itu. Ada dinamika dan lika-liku di dalamnya yang tidak bisa dijadikan “rumus”.

Manajer, kultur dan pencapaian

Saya pernah bekerja di bawah seorang manajer yang sangat suportif. Manajer ini tidak hanya melindungi timnya, tetapi juga secara aktif membantu kami berkembang. Dia selalu berkata perkataan yang afirmatif seperti:

  • You are good enough, I trust you’ll make good judgments.
  • This is such an example. This is how every work should be.
  • Atau, ketika saya sakit, “Don’t be too stressful. Just play those games, yes even in your work hour, I am okay.” Karena dia tahu saya baru membeli PC untuk main game, dan dia percaya output dan outcome daripada jam kerja.

Mungkin karena love language saya (kedengaran norak, ya?) adalah words of affirmation, pernyataan-pernyataan sederhana itu membuat saya merasa dihargai, terlindungi, dan didorong untuk lebih percaya diri. I feel that I need words more than anything else. Saya selalu berkata pada istri saya, “I know what to do, I just want to be listened to and be affirmed about what I did and what I am about to do.” Saya sudah tahu apa yang saya harus lakukan, tapi saya hanya butuh keyakinan dari orang lain melalui kata-kata, dan minta didengarkan saja.

Sebaliknya, ada juga pengalaman sebaliknya — manajer yang tidak peduli, hanya fokus pada hasil akhir tanpa memikirkan kondisi tim. Dalam situasi seperti itu, saya merasa kehilangan motivasi, hingga akhirnya memutuskan untuk resign. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa bekerja di bawah manajer (atau kultur) yang buruk bisa menggerogoti kesehatan mental dan fisik, terlepas dari seberapa besar gaji yang diterima.

Dalam dunia kerja, uang sering menjadi buah simalakama. Saya pernah mengambil pekerjaan dengan gaji besar (menurut saya), hanya untuk menemukan bahwa budaya kerja dan bosnya tidak cocok. Rasanya seperti menjual kebahagiaan demi uang. Dari situ saya belajar, lebih baik mencari perusahaan dengan budaya yang cocok dan bos yang suportif, meskipun itu berarti gaji naik lebih lambat, atau promosi lebih telat. Kalau kita sudah menemukan tempat yang cocok, fokus saja untuk berkembang di sana, dan perlahan-lahan membangun karir serta kompensasi yang sesuai.

Tentu saja, akan selalu ada yang berkata, “Bisnis aja deh kamu, jadi bos sendiri.” Tapi bukankah itu terlalu menyederhanakan masalah?

Melihat teman-teman seperjuangan yang tampak lebih “sukses” sering kali menimbulkan rasa iri, jujur saja. Mereka naik pangkat lebih cepat, mendapatkan proyek-proyek besar, atau bekerja di perusahaan yang lebih ternama. Ego saya pun tertohok. Apalagi jika teman atau individu ini lebih muda dari saya.

Namun, saya menyadari bahwa setiap orang punya perjalanan masing-masing. Kesuksesan mereka tidak berarti kegagalan saya. Faktor seperti determinasi, keberuntungan, dan kesesuaian bidang kerja memainkan peran besar. Mungkin saja mereka sudah berjuang dan bertahan dalam penderitaan, yang kemudian memberikan mereka hasil yang luar biasa.

Satu hal yang saya pelajari adalah pentingnya menghargai pencapaian sendiri, sekecil apa pun itu, tanpa terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain.

Ada satu pepatah yang mungkin selalu saya ingat: “Apa yang kamu lakukan dan putuskan pada masa lalu, terlepas dari hasilnya, adalah keputusan terbaik berdasarkan kondisi dan situasimu pada saat itu. Tidak ada keputusan buruk.” Mungkin, ada benarnya.

Apakah saya masih relevan?

Awal menjadi UX designer adalah masa-masa emas. Permintaan dari recruiter banyak, tawaran datang dari berbagai tempat, dan dunia teknologi sedang berkembang pesat. Tapi setelah COVID, semuanya berubah. Lowongan pekerjaan menyusut, banyak PHK, dan saya mulai bertanya-tanya: “Apakah saya masih relevan?” Masa-masa seperti ini mengajarkan saya pentingnya fleksibilitas. Dunia kerja selalu berubah, dan kita harus terus belajar agar tetap relevan. Saya juga belajar bahwa ketidakpastian adalah bagian dari karir, dan itu bukan hal yang perlu ditakuti, tapi dihadapi.

Semakin mendekati usia 50, pertanyaan ini semakin sering muncul di kepala: “Apakah saya akan terus dibutuhkan?” Dunia desain terus berkembang, dan teknologi berubah dengan cepat. Apa saya mau mendesain terus sampai mati?

Sahabat kuliah saya pernah bercanda, bahkan ketika kami masih kuliah sarjana, “Gue mah ogah kerja di depan komputer terus sampai tua.” Tapi, setelah saya pikir, it’s not the end of the world. Bahkan mungkin bekerja di depan komputer adalah yang terbaik.

Saya ingat, tools yang saya gunakan 10 tahun lalu seperti Keynote dan Illustrator kini telah tergantikan oleh Figma, dan mungkin 10 tahun ke depan Figma juga akan digantikan sesuatu yang baru. Namun, saya percaya bahwa tools hanyalah… sesuai artinya, yaitu “alat”. Selama kita fokus pada kemampuan dasar — memahami kebutuhan pengguna, menyelesaikan masalah, dan berkomunikasi dengan tim — kita akan tetap relevan. Para pesohor-pesohor desain dan ahli-ahli karir di luar sana mengatakan bahwa apabila kita bisa beradaptasi, dan lebih kurang memahami bisnis lebih dalam, kita bisa berkontribusi lebih dari sekedar pixel yang kita rancang. “Wah, bisa aja, ya,” gumam saya.

Dari Keynote, Illustrator, Sketch, hingga Figma — tools terus berubah. Tapi esensi pekerjaan desain tetap sama: memahami kebutuhan pengguna dan menyelesaikan masalah. Tools hanyalah alat untuk membantu kita mencapai tujuan itu. Saya sering melihat desainer muda terlalu fanatik pada tools tertentu, seolah-olah itu adalah segalanya. Padahal, yang paling penting adalah cara kita berpikir dan berkolaborasi.

Terkadang miris juga melihat banyak kursus atau tips dan trik yang lebih fokus pada “Bagaimana membuat autolayout dalam Figma”, atau “Bagaimana membuat design system”, lebih daripada misalnya, “Bagaimana mengelola stakeholder” atau “Bagaimana memahami kebutuhan bisnis secara mendalam.” Padahal, kemampuan seperti manajemen stakeholder, komunikasi lintas tim, dan memahami strategi bisnis adalah fondasi penting bagi desainer yang ingin bertahan dan berkembang dalam jangka panjang.

Kursus yang hanya fokus pada teknis sering kali membuat desainer terjebak dalam pola pikir bahwa kemampuan teknis adalah segalanya, sementara realita kerja menuntut kita untuk menjadi problem-solver yang mampu melihat gambaran besar.

Keberhasilan karir tidak hanya tentang seberapa baik kita menggunakan tools, tapi juga seberapa baik kita memahami konteks, bekerja dengan orang lain, dan memberikan solusi yang relevan bagi pengguna dan bisnis.

Mungkin sudah saatnya kita menggeser fokus dari bagaimana mendesain lebih baik” menjadi “bagaimana berkontribusi lebih baik.”

Kita tidak sepenting itu di mata perusahaan

Salah satu kenyataan pahit lain yang saya pelajari adalah bahwa kita tidak sepenting itu di mata perusahaan. Seberapa besar pun kontribusi kita, pada akhirnya kita adalah angka di laporan, dan bisa saja digantikan kapan saja. Contoh yang relevan adalah kisah Shin Tae-yong di PSSI. Dia pelatih berbakat, memberikan kontribusi nyata, tetapi tetap harus menghadapi politik internal yang mengabaikan kontribusinya. Ini mengingatkan saya bahwa dalam dunia kerja, kadang kita hanyalah bagian dari permainan yang lebih besar.

Pada akhirnya, yang benar-benar peduli pada kita adalah keluarga. Karir mungkin memberikan stabilitas finansial, tapi kebahagiaan sejati datang dari hubungan dengan orang-orang yang kita cintai. Anak dan pasangan saya adalah alasan utama saya bekerja. Mereka adalah yang paling terdampak oleh keputusan karir saya, baik atau buruk. Ketika saya merasa bingung atau ragu, saya selalu mendengarkan insting pasangan saya. Dia adalah suara rasional yang mengingatkan saya tentang apa yang benar-benar penting.

Bekerja di luar negeri

Banyak orang bermimpi kerja di luar negeri, termasuk saya. Tapi saya belajar bahwa yang lebih penting bukan negara tujuannya, melainkan perusahaan tempat kita bekerja. Kultur, bos, dan lingkungan kerja jauh lebih menentukan kebahagiaan kita daripada lokasi geografis. Pindah ke negara baru bisa menjadi mimpi buruk jika ternyata perusahaan atau budaya kerjanya tidak cocok. Jadi, sebelum memutuskan pindah, pastikan kamu sudah benar-benar mengenal perusahaan yang akan kamu masuki.

Motivasi orang bekerja di luar negeri itu beragam dan sangat personal. Ada yang fokus pada uang — mencari gaji yang lebih besar atau peluang finansial yang lebih baik. Ada juga yang mengejar kualitas hidup, seperti akses ke pendidikan, kesehatan, atau lingkungan yang lebih mendukung. Sebagian lagi memilih kenyamanan, baik itu dari segi budaya kerja, keamanan, atau fasilitas yang lebih baik.

Di sisi lain, ada juga yang sekadar ingin menjauh dari keluarganya, mencari ruang untuk lebih mandiri, atau ingin lepas dari tekanan sosial di kampung halaman. Ada pula yang merasa jenuh atau kecewa dengan kondisi di negaranya sendiri, seperti situasi politik atau ekonomi yang tidak menentu.

Semua alasan itu sah-sah saja, karena pada akhirnya setiap orang punya pertimbangan dan prioritas yang berbeda. Yang penting, keputusan tersebut membawa mereka ke arah hidup yang lebih baik, sesuai dengan apa yang mereka nilai penting.

Zona nyaman sesungguhnya

Bagi saya, zona nyaman sebenarnya adalah batas toleransi kita untuk berkorban dan berjuang dengan kompensasi yang dianggap setimpal. Setiap orang punya definisi yang berbeda-beda. Tidak semua orang ingin mengejar promosi ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin bagi sebagian orang, dengan kompensasi, benefit, dan privilege di level tertentu, mereka merasa posisi itu sudah pas — cukup nyaman untuk dijalani tanpa terlalu banyak tekanan. Kalau naik ke level berikutnya, sering kali tantangan dan drama bertambah. Sebaliknya, kalau turun, mungkin mereka merasa kurang tertantang atau kurang dihargai.

Bagi saya, zona nyaman itu seperti goldilocks zone — tidak terlalu berat, tidak terlalu ringan, tapi pas di tengah-tengah.

Itulah sebabnya, saat saya memimpin atau me-manage orang, saya lebih suka bertanya, “Seperti apa zona nyaman menurut kamu?” atau “Apakah kamu merasa posisi sekarang sudah cukup nyaman, atau kamu ingin mencoba melampaui batas dan keluar dari zona nyaman itu?” Dengan begitu, saya bisa lebih memahami motivasi dan keinginan mereka, sekaligus membantu mereka menemukan keseimbangan yang pas antara kenyamanan dan tantangan.

Intinya: tidak semua orang seambisius segelintir orang.

Benang merahnya…

Banyak hal dalam dunia kerja yang sering kali terlalu diglorifikasi — menjadi manajer, bekerja di perusahaan besar, atau bahkan menggunakan tools tertentu. Saya pernah berpikir bahwa menjadi manajer adalah langkah maju, tapi ternyata itu tidak selalu cocok untuk semua orang. Saya juga pernah bekerja di perusahaan besar dengan reputasi bagus, hanya untuk menemukan bahwa isinya tidak seindah luarnya. Yang penting adalah menemukan jalan yang cocok untuk diri sendiri, tanpa terlalu terpengaruh oleh ekspektasi atau stereotip.

Menjelang usia 40, saya menyadari bahwa karir adalah perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran dan lika-liku. Setiap momen, baik atau buruk, membantu membentuk siapa kita hari ini. Tidak ada rumus yang tepat bagi semua orang. Terkadang saya harus mengatakan sejujurnya, pada setiap orang yang memberikan advis atau tips tanpa diminta, “Maaf, nggak dulu,” atau, “Maaf, kita berbeda.” Yang terpenting adalah menemukan makna dalam apa yang kita lakukan, dan memastikan bahwa karir kita mendukung kehidupan, bukan sebaliknya.

Kalau pun ada satu tips karir yang saya berikan (tentu saja, Anda tidak perlu setuju, sama seperti saya) adalah…

  • Jangan terlalu fanatik pada satu hal, seperti perusahaan, metode, alat, teori, framework, proses, profesi… apapun namanya. Hindari over-glorification on anything. Semua itu ada zamannya, fasenya, dan pasti akan ditinggalkan atau tidak relevan pada suatu saat.
  • Percaya dan nyaman pada pilihan dan prinsip diri sendiri, tanpa memaksakannya pada orang lain.

Bagaimana dengan kamu? Apa pelajaran terbesar yang kamu dapatkan dalam perjalanan karirmu?

--

--

Sigit Adinugroho
Sigit Adinugroho

Written by Sigit Adinugroho

Bicara soal UX dan kehidupan di antaranya.

Responses (2)